Kota masa depan akan terdiri dari serangkaian lansekap tanpa batas (infinite series of landscape), baik fisik dan psikologis, perkotaan dan pedesaan, mengambang terpisah dan bersama-sama. Mereka akan dipetakan dan direncanakan untuk keperluan-keperluan khusus, dengan hasil yang akan direkam dalam geographical information system (GIS), yang memiliki daya untuk untuk membangun dan mengambil rencana-rencana yang tidak terhingga, citra-citra dan rekaman-rekaman lainnya. Christopher Alexander benar: sebuah kota bukan satu pohon (a city is not a tree). Ia adalah suatu lansekap. Kota bisa dipandang dan direncanakan sebagai lansekap yang luas atau sempit, dari mulai 'kota', 'desa', dan 'cagar alam' (nature reserve) masa lalu.
Pada tahun 1955, ahli perkotaan mega-mal Victor Gruen melontarkan istilah "cityscape", yang ia posisikan bertolak belakang dengan "landscape". "Cityscape" menurut Gruen adalah lingkungan terbangun dari bangunan-bangunan, permukaan-permukaan yang diperkeras, dan infrastruktur-infrastruktur. Lebih lanjut kemudian dibagi-bagi menjadi "technoscapes", "transportation-scapes", "suburb-scapes" dan bahkan "subcityscapes" (sisi pinggiran dan tempat puing-puing yang disebut oleh Gruen sebagai "keresahan metropolis"). Pada sisi lain, "landscape", bagi Gruen, adalah "lingkungan di mana alam sudah dominan". Ia memang mengatakan bahwa lansekap bukan hanya sekedar "lingkungan alami", seperti alam liar yang tidak tersentuh, tetapi wilayah-wilayah di mana permukiman manusia telah membentuk lahan dan proses-proses alamnya dengan cara yang amat dekat dan saling bertimbal-balik. Ia menyebut lahan pertanian dan pedesaan sebagai contoh, membangkitkan kesan harmoni ekologis dan topografis, bermandikan vegetasi hijau dan langit biru yang jernih. Untuk Gruen, cityscape dan landscape awalnya pernah jelas terpisah tetapi hari ini kota telah menjebol dindingnya untuk menaklukkan dan menyeragamkan lansekap sekitarnya dengan "serangan kilat" ekonomi dan teknologi (beragam "scapes" tadi sekarang berkonflik dan tanpa batasan yang tegas).
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, dalam seminar bertajuk Transforming Lives Human and Cities dengan tema Who Build Cities di Hotel Aryaduta (4/9/2018), hasil kerja sama Universitas Pelita Harapan (UPH), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI), menyatakan akan ada perubahan pola pikir dan praktek pembangunan di DKI. Perubahan itu terkait relasi antara pemerintah dan warga, dari administrator dengan penghuni, penyedia jasa dengan konsumen, fasilitator dan partisipan menjadi kolaborator dan kokreator. Sementara pada kesempatan yang sama, peneliti senior Perencanaan Wilayah dan Kota Pusat Riset Wilayah dan Perkotaan UI Hendricus Andi Simarmata menyampaikan bahwa ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam perkembangan kota, yaitu mentransformasi resiko menjadi peluang, konsentrasi pengembangan dan antisipasi perubahan digital yang menjadikan urban dan rural menjadi satu kontinuum tak terpisahkan.
Berbagai hal yang sudah diajukan di atas menunjukkan adanya pergeseran atau perubahan cara memandang atau memahami paradigma suatu kota yang semuanya merupakan gejala jaman pascamodern. Meletakkan kota pada suatu lansekap dan memandangnya sebagai lansekap atau bagian dari lansekap adalah cara pandang perkotaan yang baru (city as a landscape bukan kota di dalam lansekap atau city within a landscape). Disebutkan di atas bahwa kota akan terdiri dari banyak lansekap tak terbatas, ini menunjukkan bahwa model kota seperti yang biasa kenal dulu dan sekarang sudah berubah dan akan lenyap. Batasan-batasan kota akan hilang, borders akan berganti menjadi frontiers tanpa penanda-penanda yang jelas walaupun pada saat yang bersamaan tetap perlu ada penanda-penanda yang jelas (minimal secara administratif). Kecenderungan lepas-sambung, berbatas dan tanpa batas, bersatu sekaligus berpisah adalah dialektika yang menjadi ciri jaman pasacamodern.
Pemerintah Provinsi DKI melalui pernyataan gubernur di atas nampaknya juga sudah menyadari kecenderungan perubahan arah pemikiran dan cara pandang perkotaan di era pascamodern ini dengan meletakkannya pada dialektika yang disebut kolaborator dan kokreator. Di dalam bidang perencanaan dan perancangan era pascamodern, para perencana, perancang dan pengambil kebijakan (dalam skala publik) tidak lagi ditempatkan pada posisi ahli yang dianggap paling tahu segalanya. Perencanaan di atas kertas adalah satu hal, perencanaan pada lansekap itu urusan lain lagi. Sehingga hasil perencanaan dan perancangan suatu lansekap bukan lagi menjadi dominasi para perancang dan perencana melainkan suatu hasil kerja bersama yang saling partisipatif dari banyak pihak dengan mempertimbangkan banyak hal. Sehingga menempatkan pemerintah provinsi dengan warganya dalam posisi dialektika kolaborator dan kokreator sudah sesuai dengan jaman.
Kemudian melihat kontinuum (kondisi yang terus-menerus) antara urban dan rural dalam konteks digital akan menempatkan wilayah dan kota berikut warganya dalam posisi yang egaliter (setara). Digital di sini adalah arsip atau rekaman digital dalam bentuk peta-peta dan rencana-rencana pengembangan wilayah yang sudah digitalisasi dengan bantuan GIS. Apabila sudah diunggah ke berbagai laman, platforn dan media sosial maka informasi-informasi digital tersebut akan lebih mudah diakses oleh publik dan publik pun bisa turut berpartisipasi dengan sumbang saran dan mengawasinya.
...ahli perkotaan lansekap (landscape urbanist) yang berpikiran kritis tidak bisa mengabaikan sifat dialektis dari yang jadi (being) dan yang menjadi (becoming), dari perbedaan-perbedaan yang permanen sekaligus berubah-ubah. Permainan lirik antara nektar dan NutraSweet, antara kicauan burung dan Beastie Boys, antara gelontoran banjir musim semi dan tetesan air kran, antara tanah berlumut dan permukaan beraspal panas, antara ruang-ruang yang terkendali dan cagar alam liar yang luas, dan antara segala hal dan peristiwa yang terjadi di dalam saat-saat tertentu dan amat terencana, adalah beragam sumber pengayaan dan kreatifitas manusia persisnya yang terus menganeka ragam.
Sekali lagi, di era pascamodern (atau bahkan pasca-pascamodern), batasan-batasan lenyap, peran bersama lebih dikedepankan dan dialektika diutamakan. Di manakah peran dan posisi arsitek lansekap kita di dalam menyikapi hilangnya batasan-batasan, di dalam peran yang lebih partisipatif dan di dalam berbagai dialektika era pascamodern (dalam isu-isu perkotaan pada khususnya)?
Wallahualam.
SJ
Keterangan: diterjemahkan dan disadur secara bebas dengan komentar sekedarnya dari
1. City as Landscape: A Post-postmodern View of Design and Planning (Kota sebagai Lansekap: Pandangan Pasca-pascamodern terhadap Perancangan dan Perencanaan), Tom Turner, 1996
2. Landscape Urbanism Reader: Terra Fluxus, James Corner, 2006
3. Harian Kompas, 5 September 2018
Tags
artikel